Berita presa, Jakarta – Ribuan mahasiswa baru memenuhi Gedung Serba Guna (GSG) ITB pada Sabtu pagi, 5 Agustus 1989. Langkah Menteri Dalam Negeri Rudini dan Gubernur Jawa Barat Letjen (Purn.) Yogie S. Memet yang akan memasuki GSG ITB terhenti. Rombongan pejabat itu dihadang sekelompok mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.
Setelah Mendagri memasuki Gedung Serba Guna ITB, para mahasiswa melakukan aksi lanjutan. Ketua FKHJ Wijaya Santoso dan Ketua Badan Eksekutif FKHJ Bambang Sugianto L.N. memimpin pembacaan petisi. Sesudah membaca petisi, 17 ketua himpunan/ jurusan walk-out dari GSG sebagai bentuk protes atas kehadiran Mendagri.
Sepnggalan cerita di atas dikutip dari buku Memoar Ondos “Keteguhan Hati Yang Teruji, Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia Tahun 1980-an”, yang ditulis oleh Untung Widyanto, dan kawan-kawan dan rencananya akan dicetak ulang oleh Penerbit Grasindo.
Peristiwa 5 Agustus 1989, 32 tahun lalu ini, menjadi satu rekam jejak Gerakan Mahasiswa di Indonesia dalam perjuangan untuk perubahan dan demokrasi.
Peristiwa ini memakan korban belasan aktifis mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan bahkan dikirim ke Lembaga Permasyarakatan (LP) Nusakambangan yang dikenal sebagai LP “Kelas Berat”
Demontrasi mahasiswa ITB 5 Agustus 1989 ini adalah respon aktifis kampus ITB atas kehadiran Menteri Rudini dalam acara Penerimaan Mahasiswa Baru dan Pembukaan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) Angkatan 1989.
Sudah menjadi kebiasaan pada dekade ‘70-an sampai akhir ‘80-an, sangat jarang pejabat negara dapat berkunjung ke ITB tanpa disambut demonstrasi.
Selain itu juga para aktifis mahasiswa ITB sepakat Menteri Rudini tidak sepantasnya hadir dalam pembukaan Penataran P4 di kampus ITB dengan alasan banyak sorotan terhadap Rudini terkait konflik tanah dan penggusuran permukiman rakyat di berbagai daerah, antara lain di Pulau Panggung, Lampung Selatan.
Tentu aksi tersebut bukan timbul sekonyong konyong atau karena provokasi kelompok tertentu.
Memang dalam sejarah bangsa kita, kaum muda terdidik selalu jadi motor penggerak, kaum mahasiswa adalah inti kekuatannya, gerakan kaum muda bukan saja perjuangan menuntut keadilan, tetapi juga sebagai penanda perlunya perubahan. Gerakan kaum muda masa itu sarat dengan nilai-nilai luhur dan merupakan koreksi positif terhadap kekeliruan yang terjadi.
Kemurnian perjuangan kaum muda masa itu bukan saja hasil dari pergulatan mereka bersama rakyat, tetapi juga merupakan hasil olah pikir yang selalu berorientasi pada kepentingan rakyat banyak bukan sekedar politik identitas sempit.
Memang tantangan kaum muda masa kini jauh berbeda, kecepatan arus informasi sering kali membuat mereka tidak lagi sempat menganalisis lebih dalam. Perlu bukan saja kecerdasan dan pisau analisis yg lebih tajam, tetapi juga butuh kejernihan berpikir ekstra agar tidak terjebak dalam perangkap kepentingan sempit para elit dan melupakan garis perjuangan yang sejati nya selalu berkerja dan berjuang ditengah tengah rakyat, terus mengobarkan semangat kebangsaan untuk tetap menjaga keutuhan Republik yang kita cintai ini.
Hari ini 05 Agustus 2021, 32 tahun kemudian, kita menikmati hidup dalam era demokrasi, menghirup udara kebebasan. Semua ini tak lepas dari rangkaian perjuangan para aktifis mahasiswa dari berbagai dekade yang puncaknya di peristiwa Reformasi 1998.
Peristiwa 5 Agustus adalah salah satunya yang mengantarkan tongkat estafet perjuangan generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya.
Beberapa tokoh penggerak aksi ini pun sudah tiada. Arnold (Ucok) Purba, Theodorus (Ondos) Jacob Koekerits, Pulih, Ipung, Juanito (Toa) Carlos Djamal dan beberapa lainnya sudah mendahului kita. Sudah sepantasnya kita menundukkan kepala, mengenang perjuangan mereka yang sebagian hasilnya kita rasakan sekarang ini.
Selamat memperingati Peristiwa Lima Agustus. (Indonesiaberita.com)