Tutup Iklan
Opini

Identitas dalam Pusaran Globalisasi

73
×

Identitas dalam Pusaran Globalisasi

Sebarkan artikel ini
Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen pada Sekolah Tinggi Teologi KHKT (Lölner Hochschule für Katholische Theologie), Keuskupan Agung Köln, Jerman

Penulis : Dr. Polykarp Ulin Agan, Dosen pada Sekolah Tinggi Teologi KHKT (Lölner Hochschule für Katholische Theologie), Keuskupan Agung Köln, Jerman

Di dalam romannya Wohin du auch gehst, Christina (2025) Fonthes menuturkan kisah Bijoux, seorang remaja asal Kongo yang dibentuk oleh tanah kelahirannya, namun kemudian dipaksa menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di London. Ia membawa serta ingatan, tradisi, dan kegelisahan dari kampung halaman, sembari harus berhadapan dengan tuntutan dunia modern yang asing. Bibinya, Mira, yang lebih dulu menapaki jalan diaspora, hidup di antara dua dunia—Kongo dan Barat—namun tak pernah sepenuhnya merasa utuh di salah satunya. Dua tokoh ini memperlihatkan dilema yang semakin relevan di era globalisasi: bagaimana seseorang mencari identitas dalam pusaran lintas budaya dan lintas zaman?

Berita Ini Di Sponsorin Oleh :
Scroll Ke Bawah Untuk Lihat Konten

Identitas Tak Lagi Tunggal

Kisah Bijoux dan Mira sesungguhnya adalah cerminan realitas sosial yang lebih luas. Menurut laporan World Migration Report 2022, lebih dari 281 juta orang kini hidup sebagai migran internasional. Perpindahan ini tidak hanya soal geografis, melainkan juga eksistensial. Migran kerap berada dalam “ruang antara”—tidak sepenuhnya melekat pada asal, namun juga tidak sepenuhnya diterima di tempat baru. Dalam ruang inilah, proses pencarian identitas menjadi medan pergulatan: apakah seseorang akan memegang teguh tradisi leluhur, melebur dalam norma baru, atau menemukan bentuk sintesis yang unik bagi dirinya?

Di satu sisi, globalisasi membuka peluang bagi pertukaran budaya yang memperkaya pengalaman manusia. Bahasa, musik, makanan, hingga nilai-nilai sosial dapat saling menyeberang dan menciptakan mosaik kehidupan yang baru. Namun di sisi lain, proses ini juga menimbulkan rasa keterasingan. Identitas menjadi arena tarik-menarik antara “yang lama” dan “yang baru”, antara ekspektasi keluarga dan keinginan pribadi, antara warisan sejarah dan proyek masa depan.

Persoalan ini tidak hanya menyentuh individu yang berpindah secara fisik. Generasi muda yang hidup di kota-kota besar, terhubung dengan dunia digital, juga mengalami keterbelahan serupa. Mereka menyerap ragam wacana global, namun pada saat yang sama dihadapkan pada nilai-nilai lokal dan tradisi keluarga. Dalam arti tertentu, kita semua adalah Bijoux dan Mira: manusia yang terus-menerus bernegosiasi dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Maka, pencarian identitas di era antarbudaya bukanlah sekadar upaya menemukan “jawaban tunggal”, melainkan keberanian untuk merawat keragaman dalam diri sendiri. Identitas tidak lagi dapat dipahami sebagai sesuatu yang statis, melainkan sebagai proses yang dinamis, cair, dan berlapis. Ia tumbuh bersama pengalaman, berubah seiring konteks, namun tetap berakar pada memori dan nilai yang kita bawa.

Menguji Bhinneka di Era Algoritma

Dalam konteks Indonesia, pergulatan identitas ini menemukan wajahnya yang khas. Negara kepulauan dengan lebih dari 1.300 kelompok etnis dan ratusan bahasa daerah ini sejak awal berdiri telah mendeklarasikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pluralitas bukan sekadar kenyataan demografis, melainkan fondasi kebangsaan. Namun, pluralitas itu juga kerap menjadi sumber ketegangan. Pertarungan wacana antara identitas lokal, nasional, dan global masih terus berlangsung, memperlihatkan betapa rapuh sekaligus tangguhnya bangunan kebinekaan kita.

Di satu sisi, pluralitas memberi Indonesia kekayaan yang sulit tertandingi. Tradisi budaya, agama, dan bahasa membentuk mozaik yang indah, sekaligus menyumbang pada dinamika kehidupan sosial-politik. Akan tetapi, di sisi lain, pluralitas juga mudah digiring menjadi politik identitas yang sempit. Dalam arena politik praktis, misalnya, perbedaan suku dan agama sering dimobilisasi untuk kepentingan elektoral, bukan demi memperkuat kohesi sosial. Akibatnya, identitas yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan berubah menjadi tembok pemisah.

Generasi muda Indonesia kini menghadapi tantangan yang serupa dengan Bijoux dan Mira, meski dalam lanskap yang berbeda. Mereka tumbuh dengan akses luas ke budaya global, namun tetap membawa jejak nilai lokal dan religius yang diwariskan keluarga. Media sosial mempercepat proses hibridisasi identitas ini, sekaligus memperuncing potensi konflik. Di ruang digital, narasi kebangsaan bersaing dengan narasi sektarian, sementara solidaritas kebinekaan diuji oleh algoritma yang sering kali memperkuat polarisasi.

Maka, pencarian identitas bangsa Indonesia di era globalisasi membutuhkan keberanian untuk melampaui sekadar klaim primordial. Identitas nasional harus dimaknai bukan sebagai penyeragaman, melainkan sebagai ruang bersama tempat perbedaan bisa hidup berdampingan secara setara. Politik identitas yang eksklusif perlu ditransformasikan menjadi politik pengakuan: pengakuan terhadap keragaman sebagai inti kekuatan, bukan kelemahan. Dengan begitu, Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa pluralitas bukanlah kutukan, melainkan jalan menuju kematangan demokrasi dan kemanusiaan.(*)

(*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi beritaraya.id