Viral surat rekomendasi dari anggota DPRD Banten pada proses penerimaan murid baru (SPMB) 2025 memicu keprihatinan publik. Dugaan intervensi dalam seleksi siswa membuat oknum tersebut dicopot dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD oleh partainya.
Langkah tegas ini mendapat apresiasi dari sejumlah pihak, termasuk Ketua Perkumpulan Kepala Sekolah Swasta (PKSS) Tangerang Selatan, Eko Pranoto.
“Kami mengapresiasi sanksi kepada kader yang mencoreng integritas seleksi. Ini menjadi preseden penting sekaligus pengingat keras bagi semua pihak, termasuk legislatif, untuk tidak bermain-main dalam proses SPMB,” ujar Eko kepada Beritaraya.id, Rabu (3/7).
Ia memastikan bahwa pelaksanaan SPMB di Tangerang Selatan sejauh ini berlangsung tertib dan relatif aman. Hingga saat ini, belum ada laporan intervensi atau pelanggaran dalam proses penerimaan siswa baru, khususnya di jenjang SD dan SMP negeri yang berada di bawah naungan Pemerintah Kota Tangerang Selatan. Hal ini sejalan dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pendidikan dasar dan menengah pertama, termasuk penyelenggaraan, pengawasan, serta pembiayaannya.
Menurut Eko, komitmen dari Wakil Wali Kota Tangerang Selatan Pilar Saga Ichsan menjadi salah satu faktor utama dalam menjaga integritas seleksi.
“Pak Pilar menyampaikan secara terbuka bahwa proses SPMB 2025 harus bebas dari titipan atau transaksi gelap. Kami percaya beliau akan menjaga komitmen itu. Tinggal bagaimana Dinas Pendidikan benar-benar menindaklanjuti secara tegas di lapangan,” katanya.
Perubahan Juknis Dinilai Rasional
Terkait perubahan petunjuk teknis (juknis) menjelang pelaksanaan SPMB, Eko menjelaskan bahwa hal itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika internal di sekolah negeri, khususnya menyangkut jumlah siswa tidak naik kelas.
“Saya pelajari, perubahan juknis ini muncul karena beberapa SMP negeri mengalami jumlah siswa tidak naik kelas yang cukup signifikan. Itu otomatis memengaruhi kuota per rombongan belajar (rombel), meskipun tetap dijaga tidak melebihi batas maksimal 42 siswa per rombel,” jelasnya.
Eko juga menilai bahwa penambahan kluster dalam sistem zonasi merupakan langkah positif untuk mengakomodasi siswa dari wilayah yang tidak memiliki sekolah negeri.
“Penentuan domisili sekarang tidak hanya fokus pada jarak terdekat, tapi juga memperluas akses hingga radius 3 kilometer. Ini membantu siswa dari kelurahan yang tidak punya SMP negeri untuk tetap bersaing secara adil,” ujarnya.
Menurutnya, keberhasilan proses SPMB tidak hanya ditentukan oleh sistem, tapi juga komunikasi publik yang terbuka dan cepat.
“Kalau penyampaian juknis lancar, jelas, dan tidak mendadak, sekolah bisa lebih siap, orang tua lebih tenang, dan kita semua bisa fokus memastikan anak-anak mendapatkan hak pendidikan tanpa hambatan teknis maupun politis,” pungkas Eko.
Kasus Intervensi SPMB, Pengingat Keras di Musim Penerimaan Murid Baru 2025
