Opini

Rangkap Jabatan di Era Kabinet Prabowo: Oligarki, Krisis Tata Kelola, dan Ujian Reformasi

37

Oleh: M. Habibi M.Si (Pengamat Politik)

Dalam sejarah politik Indonesia, praktik rangkap jabatan selalu hadir sebagai salah satu gejala klasik dari problem tata kelola pemerintahan. Pada masa Orde Baru, misalnya, pejabat publik kerap merangkap sebagai pengurus partai, pengusaha, bahkan komisaris di perusahaan negara. Reformasi 1998 yang menjanjikan tata kelola demokratis dan akuntabel, seharusnya memutus rantai praktik tersebut. Namun, realitas pasca-reformasi menunjukkan bahwa rangkap jabatan tetap bertahan, meskipun dalam bentuk baru dan dengan bahasa legitimasi yang lebih halus.


Kini, di era pemerintahan Presiden Prabowo, fenomena itu kembali menyeruak. Laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut adanya sedikitnya dua menteri dan tiga puluh tiga wakil menteri yang merangkap sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Fakta ini bukan hanya soal jumlah, melainkan juga soal prinsip: apakah pejabat publik bekerja untuk negara, ataukah mereka telah menjadikan negara sebagai perusahaan raksasa untuk mengakumulasi rente politik?


Data Empiris: Siapa Duduk di Kursi Ganda?


Dalam daftar yang beredar, sejumlah pejabat menempati posisi strategis di perusahaan pelat merah. Ada wakil menteri yang merangkap di Pertamina, Telkom Indonesia, hingga PLN—perusahaan dengan aset triliunan rupiah dan pengaruh besar terhadap ekonomi nasional. Nama-nama itu bukan sekadar figur, melainkan simbol keterjeratan negara dalam kepentingan bisnis.


Fenomena ini menegaskan apa yang disebut Guillermo O’Donnell sebagai delegative democracy: sebuah kondisi di mana pemimpin dan elite politik merasa memiliki legitimasi absolut untuk mengatur negara seolah-olah ia adalah milik pribadi, bukan amanah publik (O’Donnell, 1994). Dalam konteks Indonesia, rangkap jabatan menjadi perpanjangan tangan praktik oligarki, di mana kekuasaan politik dan ekonomi saling menopang dalam jaringan patronase.


Regulasi: Norma yang Terabaikan


Secara normatif, aturan terkait rangkap jabatan jelas.
1. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan kewajiban pejabat publik untuk fokus pada tugasnya.
2. UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur bahwa pengangkatan komisaris harus didasarkan pada profesionalitas, integritas, dan bebas dari konflik kepentingan.
3. PP No. 45 Tahun 2005 mengatur pengelolaan BUMN secara ketat dengan prinsip akuntabilitas.

KPK juga telah berulang kali (2011, 2017, 2018) memperingatkan bahaya rangkap jabatan. Dalam kajiannya, KPK menyebut pejabat rangkap jabatan berpotensi menciptakan regulatory capture, yakni situasi ketika pembuat kebijakan justru dikendalikan oleh kepentingan yang seharusnya ia awasi. Namun, sebagaimana kerap terjadi di Indonesia, regulasi kehilangan daya ketika berhadapan dengan logika politik transaksional.


Konflik Kepentingan: Dari Teori ke Praktik


Dalam literatur tata kelola publik, konflik kepentingan dianggap sebagai ancaman utama bagi integritas birokrasi. Susan Rose-Ackerman (1999) menegaskan bahwa ketika pejabat publik memiliki kepentingan ganda, maka keputusan yang dihasilkan lebih cenderung menguntungkan dirinya atau kelompoknya, bukan masyarakat luas.


Fenomena rangkap jabatan di kabinet Prabowo memperlihatkan hal itu dengan jelas. Seorang wakil menteri yang duduk di kursi komisaris Pertamina, misalnya, memiliki kekuasaan ganda: di satu sisi ia merancang kebijakan energi, di sisi lain ia menjadi bagian dari perusahaan yang harus diatur oleh kebijakan itu. Dengan demikian, garis batas antara regulator dan operator menjadi kabur, dan pada titik inilah publik kehilangan kepercayaan terhadap negara.


Perspektif Publik: Krisis Kepercayaan


Kepercayaan publik adalah modal utama sebuah pemerintahan. Namun survei LSI (2023) mencatat bahwa 62% responden menilai rangkap jabatan menurunkan kredibilitas negara. Dalam ilmu politik, kondisi ini disebut trust deficit, yaitu jurang antara klaim pemerintah dengan persepsi masyarakat.


Ketika jurang ini melebar, legitimasi politik pemerintah ikut terkikis. Hal ini berbahaya, sebab legitimasi bukan hanya soal dukungan elektoral, melainkan juga tentang keberlanjutan kekuasaan. Max Weber (1978) sudah lama menegaskan bahwa legitimasi adalah basis rasional dari otoritas negara; tanpa legitimasi, kekuasaan hanyalah bentuk dominasi paksa.


Dampak pada Efisiensi Pemerintahan


Selain konflik kepentingan, rangkap jabatan berdampak langsung pada efisiensi. Pejabat publik yang mengemban dua tugas sering kehilangan fokus, bahkan absen dalam rapat kementerian. Kajian KPK (2018) menunjukkan, rangkap jabatan menyebabkan keterlambatan pengambilan keputusan, lemahnya pengawasan, hingga terhambatnya reformasi birokrasi. Di titik ini, masalahnya bukan sekadar etika, tetapi juga manajerial. Pemerintahan yang seharusnya bekerja efektif untuk rakyat justru tersandera oleh agenda bisnis pejabatnya sendiri.


Desakan reshuffle kabinet muncul sebagai respons publik terhadap krisis ini. Namun, reshuffle bukan sekadar mengganti kursi. Ia adalah simbol politik. Melalui reshuffle, Presiden bisa menunjukkan bahwa ia serius menegakkan etika pemerintahan, sekaligus mengirim pesan tegas kepada oligarki bahwa negara tidak bisa dijadikan ladang rente.


Sebaliknya, jika reshuffle diabaikan, kesan yang muncul adalah kompromi. Pemerintah akan tampak lebih berpihak pada kepentingan elite daripada pada kepentingan rakyat. Dedi Kurnia Syah (IPO) bahkan menegaskan bahwa tanpa reshuffle, pemerintah akan dianggap “lebih mementingkan pembagian kursi daripada pelayanan publik” (CNN Indonesia, 2024).


Dimensi Historis: Reformasi yang Tersandera


Sejak 1998, salah satu janji utama reformasi adalah birokrasi yang profesional dan bebas dari praktik rente. Namun, dua dekade lebih setelahnya, janji itu masih jauh dari kenyataan. Transparency International Indonesia (2021) mencatat skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 34/100, menandakan bahwa konflik kepentingan masih menjadi masalah serius.


Rangkap jabatan, dalam konteks ini, bukan hanya praktik menyimpang, tetapi juga bukti bahwa reformasi belum tuntas. Ia menunjukkan bahwa oligarki masih menjadi struktur dominan dalam politik Indonesia, dan birokrasi masih rentan dijadikan instrumen distribusi rente.


Konsekuensi Jika Tidak Ada Tindakan


Jika Presiden membiarkan praktik ini terus berlangsung, ada sejumlah konsekuensi serius:
1. Erosi legitimasi politik – rakyat kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
2. Delegitimasi hukum – kebijakan kementerian bisa dianggap bias dan rawan digugat.
3. Instabilitas ekonomi – investor menilai BUMN tidak profesional, hanya alat politik.
4. Warisan buruk sejarah– kabinet ini akan dikenang lebih sebagai distribusi kursi daripada pemerintahan reformis.


Polemik rangkap jabatan di era Kabinet Prabowo adalah ujian serius bagi kepemimpinan nasional. Ia menyingkap wajah lama politik Indonesia: kekuasaan yang masih diperlakukan sebagai sumber distribusi rente, bukan amanah publik. Presiden kini berada di persimpangan sejarah. Jika ia memilih untuk melakukan reshuffle dan menindak praktik rangkap jabatan, maka ia bisa mencatatkan dirinya sebagai pemimpin yang berani melawan oligarki. Tetapi jika ia membiarkannya, maka sejarah akan menilai bahwa pemerintahan ini gagal mengembalikan marwah reformasi. Pilihan itu sederhana, tetapi konsekuensinya akan panjang: apakah demokrasi Indonesia mampu keluar dari bayang-bayang oligarki, atau justru kian terjerat dalam pusaran konflik kepentingan?.

Presiden harus menunjukkan bahwa ia tidak tersandera oleh oligarki, melainkan berpihak pada rakyat dan cita-cita reformasi maka presiden harus mencari sosok meritokrasi,  bukan lagi Mediokrasi yang bisa menyulut amarah rakyat. Sosok yang pantas dan mampu  adalah  Harvick Hasnul Qolbi  begawan ekonom Indonesia untuk mengembalikan kekuatan ekonomi bangsa. Harvick Hasnul Qolbi adalah wakil menteri pertanian yang dilantik oleh Presiden Jokowi pada 23 Desember 2020. Dia mendampingi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di kementerian tersebut di sisa masa Kabinet Indonesia Maju kepemimpinan Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin periode 2019-2024.

Sosok Yang Pantas

Harvick Hasnul Qolbi lahir di Jakarta 17 November 1974  sehingga kini berusia 54 tahun. Dia merupakan darah Minang asal Batusangkar, Padang, Sumatera Barat. Harvick adalah alumni SMA Negeri 3 Teladan Jakarta  tahun 1992. Dia kemudian menempuh pendidikan sarjana teknik industri Universitas Persada Indonesia YAI. Harvick adalah salah satu kader dan menjadi salah satu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) era kepemimpinan kyai Said Aqil siroj. Jabatan terakhirnya di organisasi itu adalah Bendahara, karena kepiawaian nya dalam membangun Nahdlatul Tujjar ( kebangkitan ekonomi) yang tidak di ragukan, sampai lah terbentuk Mart NU di seluruh pelosok negeri berkat ide dan gagasanya. Sebelum jadi Bendahara NU, Harvick pernah mengemban tugas dalam Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) yang mengurusi perekonomian masyarakat NU.

Reshuffle akan menjadi langkah korektif, mengembalikan fokus pemerintahan pada pelayanan publik, sekaligus menjadi sinyal tegas bahwa negara tidak boleh menjadi ladang rente bagi elit politik.(*)


(*) Tulisan opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi beritaraya.id

Exit mobile version