Oleh: Hairiza Satia
Alumnus Magister Ekonomi Syariah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Selat Hormuz adalah koridor strategis bagi transportasi energi dunia — mengalirkan sekitar 20 juta barel minyak per hari, setara dengan 20–30 % konsumsi global. Selain itu, sekitar 20–30 % perdagangan LNG dunia juga melewati selat ini. Artinya, setiap gangguan langsung berdampak pada pasokan dan harga energi global. Besarnya Volume Energi yang Mengalir Minyak Bumi: Sebanyak 20,9 juta barel per hari melewati selat ini pada 2023, setara dengan 20 % dari konsumsi minyak global LNG (Gas Alam Cair): Sekitar 20 % perdagangan LNG global mengalir melalui Hormuz, terutama dari Qatar dan UAE Kepentingan Strategis untuk Asia 70–83 % dari aliran minyak dan LNG ini ditujukan ke pasar Asia—khususnya China, India, Jepang, dan Korea Selatan . Jepang mengandalkan 75 % impor minyaknya dari selat ini, dan lebih dari 70 % impor LNG juga lewat sini—menempatkan Negara- Negara ini dalam kondisi sangat rentan. Opsi Alternatif yang Terbatas Terdapat pipa seperti East–West Pipeline (Saudi Arabia, 5–7 juta bph) dan Habshan–Fujairah (UAE, 1,5 juta bph) — namun total kapasitasnya hanya mampu menangani sebagian kecil (2,6 juta bph) dari volume yang biasanya lewat Hormuz Artinya, jika aliran laut terganggu, kendali oleh pipa hanya akan mengisi sedikit—minoritas dibanding total pasokan global.
Dampak Ekonomi Bila Terganggu Gangguan bisa mendorong harga minyak mendekati $100–130 per barel, dan harga LNG pun akan melonjak tajam . UK bahkan diperkirakan menghadapi tagihan energi tahunan hingga £4.500 jika selat benar-benar tersumbat. Lonjakan harga langsung memicu inflasi global, memperburuk tekanan biaya energi dan biaya hidup di Negara-Negara industri. Ketidakpastian geopolitik memicu pasar energi meningkatkan premi risiko—meningkatkan harga minyak dan asuransi tanker meski pasokan masih mengalir . Efek Domino Rantai Pasok: Harga yang lebih tinggi meningkatkan biaya energi di sektor manufaktur, transportasi, hingga pembangkitan listrik. Kenapa Ini Penting bagi Ekonomi Dunia Resiliensi Energi: Penguncian pasokan utama lewat jalur ini menyoroti rentannya sistem energi global—mendorong negara maju untuk diversifikasi sumber energi (renewables, gas alternatif), cadangan strategis, dan pembangunan pipeline darat.
Geopolitik Energi: Stabilitas Selat Hormuz bukan hanya soal Marina, tapi juga soal kekuatan politik dan militer global — terutama AS, aliansi regional, dan peran diplomasi untuk menjaga kelancaran aliran energi. Perubahan Paradigma Asia: Terganggunya aliran energi mengingatkan negara-negara Asia (Jepang, Korea) untuk mempercepat transisi energi bersih—agar tidak rentan terhadap gejolak global. Lonjakan Harga Premiun beresiko Hingga $15 per Barel Ketika ketegangan memuncak (seperti serangan AS-Iran Juni 2025), pasar segera memunculkan premi risiko sekitar $10–$15 per barel pada harga Brent, meski pasokan fisik belum benar-benar terganggu Brent sempat naik dari sekitar $60 ke $80 dalam beberapa hari serta menyentuh kisaran $70–$78 selama eskalasi konflik. Volatilitas: Fluktuasi Cepat Harga & Premi Asuransi Dalam hitungan 48 jam, harga minyak bisa melonjak 3–8 %, bahkan mencapai 15–25 % tergantung kondisi pasar saat itu Premi asuransi perang dan tarif tanker naik 200–300 %, sementara tarif freighter meningkat sekitar 60 %, volatilitas ini tercermin di indikator seperti OVX yang naik 30–50 %, dan spread Brent-WTI melebar Inflasi Langsung & Tidak Langsung Setiap kenaikan $10 per barel bisa berdampak + 0.2–0.3 poin persentase terhadap pertumbuhan GDP global, karena biaya energi meluas ke sektor transportasi, industri, dan listrik. Model global (Goldman Sachs) memprediksi bahwa penutupan selat parsial dapat mendorong Brent ke $110, menambah inflasi global sekitar + 0.7 poin persentase dan mengurangi pertumbuhan global sebesar -0.3 poin .
Bagi AS, inflasi bisa menyentuh 4.5 % dan membuat Fed menunda penurunan suku bunga . Efek Ekonomi yang Beragam Rumah tangga di UK bisa mengalami lonjakan tagihan energi hingga hampir £4.500 per tahun jika selat terganggu Negara-negara pengimpor energi di Eropa dan Asia (Jepang, Korea, India) akan paling terpukul karena ketergantungan tinggi terhadap jalur ini. Perusahaan dan investor menghadapi risiko besar: Morgan Stanley memperingatkan potensi koreksi hingga 19 % pada S&P 500, sedangkan JPMorgan melihat kemungkinan Brent naik ke $120$130 dalam skenario ekstrem. Mekanisme Pasar sebagai Penyeimbang Cadangan darurat SPR di negara OECD dapat menahan gangguan selama 30–45 hari, namun dampak psikologis di pasar belum tentu bisa diambil alih sepenuhnya .Pipa alternatif (Saudi East-West & UAE Fujairah) hanya mampu menampung sekitar 30 % volume transit Selat, jauh dari ideal .Harga biasanya turun kembali setelah kebijakan dan diplomasi mulai meredakan ketegangan: misalnya setelah ancaman mereda, Brent turun kembali dari puncaknya. Premi Perjalanan (War Risk) Naik Drastis Premi war-risk untuk jalur Selat Hormuz meningkat dari 0,125% ke 0,2–0,4% dari nilai kapal, bahkan hingga 0,7% untuk rute terkait Israel. Untuk tanker senilai $100 juta, biaya asuransi naik dari $125.000 menjadi antara $200.000–$400.000 per transit.
Dampak Langsung ke Tarif Kapal Biaya tambahan di-cover lewat War Risk Surcharges: untuk VLCC, ekstra $200 k–360 k per perjalanan Spot freight untuk VLCC rute Timur Tengah–China naik 154% dalam satu minggu, mencapai >$40.000/hari Container rate dari Shanghai ke Jebel Ali meningkat 55% bulan ke bulan, menjadi ~$4.200/FEU. Delay, Pembatalan & Rerouting Banyak kapal tanker memilih menunggu di luar selat, menyebabkan delay Rerouting jarang—lebih banyak ditunda daripada dialihkan—apalagi untuk komoditas vital seperti minyak dan LNG selain itu Efisiensi & Operasional terdampak naiknya dana asuransi dan biaya jalur memaksa operator meninjau ulang routing dan kontrak perjalanan. Beberapa perusahaan menunda transit hingga mendapat pengawalan militer hal ini melebar ke Rantai Pasok Global Freight cost surge dan surcharges membebani ekosistem logistik: Supply chain global menjadi tidak efisien, khususnya bahan bakar dan LNG. Perubahan rute dan delay menyebabkan port congestion, seperti tambahan 6–10 hari di pelabuhan utama seperti Rotterdam & Singapore. Risiko yang Mendorong Respons Strategis Diversifikasi Rute & Pengamanan Operator mulai mempertimbangkan rute panjang lewat Cape of Good Hope, sekalipun menambah biaya dan waktu.
Permintaan pengawalan militer meningkat untuk memastikan keamanan kapal. Struktur Kontrak yang Lebih Fleksibel Validitas asuransi kini hanya 24 jam, serta kontrak war-risk mencakup pembatalan 96 jam. Ini mencerminkan lingkungan risiko yang cepat berubah di wilayah selat. Melambatnya Lalu Lintas Kapal Tanker & LNG Organisasi perdagangan Bimco melaporkan bahwa ketegangan USIran menyebabkan kapal tanker LNG dan minyak memperlambat transit serta banyak berada dalam mode standby di Gulf, menurunkan frekuensi layanan normal Dampak nyata: volume pengiriman energi—sekitar 20% dari perdagangan global—terhambat dan menyebabkan lonjakan antrian di jalur pelayaran. Spot Rates dan Freight Meroket Freight spot VLCC melonjak hingga +150 %–154% dalam satu minggu, mencapai $50k–75k per hari Spot container untuk rute Shanghai–Jebel Ali naik +55%, dan untuk Khor Fakkan naik +76% menjadi $4.2k per FEU Peningkatan semacam ini secara langsung menaikkan biaya impor/ekspor global. Keterlambatan Pelabuhan & Overkapasitas Rute Alternatif Pelabuhan besar seperti Singapura dan Rotterdam mengalami kemacetan 300%–600%; waktu tunggu dari <1 hari menjadi 4–10+ hari Kapal menghindar lewat Cape of Good Hope, menambah 10–14 hari perjalanan dan mengurangi kapasitas global hingga ~15% Efek Menyebar ke Sektor Industri & Ekonomi Perusahaan harus menyimpan lebih banyak inventory karena ketidakpastian arus barang , sementara biaya logistik naik tajam karena tambahan waktu dan surcharge. Sektor kritikal seperti manufaktur, elektronik, auto, dan terutama farmasi merasakan dampak harga bahan baku, distribusi, dan energi. Dampak Energi & Gas Global Hampir 20–21% pasokan minyak dan ~21% LNG global melewati selat ini Untuk Eropa, potensi kehilangan hingga 30 bcm gas per tahun bisa memicu lonjakan harga dari $11 ke $29/MMBtu Asia (China, India, Jepang, Korea) sangat rentan — ketergantungan mereka terhadap ENR transit meningkat, memicu tekanan biaya dan kebutuhan cadangan strategis . Strategi Mitigasi Rantai Pasok Diversifikasi rute & koridor: Inisiatif seperti India–Middle East–Europe Corridor (IMEC) dan I2U2 dipercepat untuk mengurangi ketergantungan pada jalur maritim tunggal. Cadangan & inventori buffer: Produsen farmasi direkomendasikan untuk memperkuat stok , pra-kontrak API dari pemasok alternatif di luar jalur riskan. Asuransi & kontrak dinamis: Freight contracts telah diubah dengan klausul validitas 24 jam dan surcharge yang lebih tinggi. untuk adaptasi cepat terhadap risiko Pengamanan jalur & diplomasi: Armada laut dan pertahanan maritim ditingkatkan; kampanye diplomasi melibatkan AS, Tiongkok, dan sekutu guna menjaga Selat tetap terbuka.
Parlemen Iran pada 22 Juni menyetujui ancaman penutupan Selat Hor muz sebagai respons terhadap serangan AS—namun keputusan akhir masih menunggu persetujuan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi .Kendati demikian, pengamat menilai Iran memahami risiko “bunuh diri ekonomi” jika benar-benar menutup jalur, karena akan kehilangan pendapatan ekspor dan memprovokasi isolasi global . Asimetri dan Kapabilitas Militer Iran Iran mengandalkan taktik asimetris—speed boats, drone, ranjau laut—yang efektif untuk mengganggu sementara, bukan menutup selat sepenuhnya. IRGC membentuk “forward defense”, dan baru-baru ini ditempatkan sistem pertahanan udara dan kapal selam di sekitar selat dan pulau-pulau strategis . Respon Internasional & Koalisi MaritimAS membalas dengan meningkatkan kehadiran angkatan laut—melalui Operation Sentinel dan Task Force mengajak sekutu seperti Prancis, Inggris, Australia berpatroli atau dukung EMASoH Organisasi Maritim Internasional (IMO) meminta semua kapal melakukan assessment keamanan sebelum transit, menegaskan belum ada tanda penutupan, tetapi risiko meningkat signifikan Diplomasi: Jalur Tengah Global Amerika Serikat menyerukan Tiongkok dan negara konsumen minyak besar untuk menekan Iran agar tidak menutup selat.
Tiongkok mengadopsi pendekatan hati-hati: mengecam serangan AS, mendesak gencatan senjata lewat PBB, serta menjaga komunikasi dengan Teheran sambil mengamankan pasokan energi-nya. Uni Eropa (Perancis & Jerman) meluncurkan diplomasi backchannel untuk membangkitkan kembali elemen JCPOA, serta mendukung misi EMASoH sebagai sarana non-militer dalam mengurangi ketegangan Jalan Tengah: Kombinasi Militer & Diplomasi Pendekatan “offshore balancing” AS muncul: menjaga keseimbangan kekuatan (AS pasif di pangkalan Bahrain, patroli laut), menyerahkan respons militer langsung kepada sekutu Engel Eropa jika dibutuhkan . Strategi “jembatan diplomatik” lewat EMASoH memadukan patrol netral dan dialog—untuk menjaga lintasan jalur laut tetap terbuka & menyalurkan tekanan tanpa langsung konfrontasi . Implikasi bagi Energi & Ekonomi Global Ancaman penutupan menahan arus ekspor (~20% minyak & LNG global), memicu kenaikan harga hingga $120/barrel dan potensi inflasi, resesi global Sementara itu, Asia—terutama Tiongkok, Jepang, Korea, India—mempercepat kebijakan diversifikasi melalui jalur darat dan cadangan strategis seperti proyek IMEC dan konektivitas I2U2. Selat Hormuz, sebuah koridor sempit yang membentang antara Iran dan Oman, bukan sekadar jalur pelayaran—ia adalah nadi utama energi global, menampung sekitar 20–21 juta barel minyak dan 20–25% perdagangan LNG dunia setiap harinya . Gangguan, meski singkat, dapat memicu lonjakan harga minyak dari $70–80 menjadi $110–150 per barel, mempopulerkan kembali istilah “premi risiko geopolitik” di pasar energi .
Ketegangan baru-baru ini—dari serangan AS ke fasilitas Iran hingga balikannya oleh Teheran—memicu kekhawatiran tinggi. Bimco melaporkan penurunan lalu lintas kapal tanker, perusahaan besar menempatkan kapal dalam status siaga, dan kapal-kapal tanker serta LNG mulai menahan ritme transisi. Premi asuransi antar negara naik tajam: doubling lebih dari dua kali lipat, sementara freight-rate naik 55%–154%, bahkan spot rate VLCC mencapai $75.000/hari. Efek lain berupa penundaan pelabuhan 4–10 hari, rerouting panjang melewati jalur Cape of Good Hope, serta backlog di titik strategis seperti Singapura dan Rotterdam . Dampak ekonomi langsung sangat nyata: biaya logistik membengkak, inflasi global diperkirakan naik 0.3–0.7 poin persentase, dan potensi resesi semakin nyata jika konflik berlanjut. Dunia, terutama Negara-Negara pengimpor energi seperti Jepang, Korea, India, Eropa, dan China, sangat rentan. Akibatnya, diplomasi global bergerak cepat: AS mendorong tekanan pada Teheran, meminta campur tangan China; Eropa memperkuat misi EMASoH; semua pihak mengedepankan narasi agar Selat tidak ditutup . Secara strategis, Iran sadar bahwa penutupan bisa menjadi “bunuh diri ekonomi”—menghentikan ekspornya sendiri dan merusak hubungan dengan mitra penting seperti China . Meski retorika tegas masih terus dikeluarkan, para analis sepakat bahwa skenario penutupan penuh sangat tidak mungkin dilakukan dalam jangka panjang.