Tutup Iklan
KolomOpini

Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya: Saat Keselamatan Laut Kita Masih Gagal

28
×

Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya: Saat Keselamatan Laut Kita Masih Gagal

Sebarkan artikel ini

“Bangsa yang tidak belajar dari tragedi, akan hidup dalam tragedi.”
– Dr. Saputra Hidayat, Sosiolog Bencana

Enam Tewas, Puluhan Hilang

Feri KMP Tunu Pratama Jaya tenggelam di Selat Bali pada awal Juli 2025. Kapal penumpang itu mengangkut lebih dari 70 orang. Hingga hari ketiga pencarian, 6 orang dinyatakan meninggal, 30 hilang, dan hanya 29 berhasil diselamatkan.

Tragedi ini menambah daftar panjang kecelakaan laut yang kerap terjadi di Indonesia. Dan seperti biasa, duka menyelimuti — lalu hilang ditelan rutinitas. Padahal, persoalan utama justru belum pernah benar-benar diselesaikan.

Mengapa Tragedi Ini Terus Berulang?

Menurut data dari Bank Dunia dan Basarnas, lebih dari 1.000 jiwa melayang akibat kecelakaan maritim sejak 2016. Penyebabnya hampir selalu sama: kapal tua, kelebihan muatan, awak tak bersertifikasi, alat keselamatan rusak, serta lambannya respons evakuasi.

Indonesia adalah negara kepulauan. Tapi mengapa lautnya justru menjadi ancaman bagi warganya sendiri?

Bukan Sekadar Musibah, Tapi Masalah Sosial

Menurut Dr. Indra Gunawan, peneliti transportasi maritim dari LIPI, tragedi maritim seperti ini tak bisa lagi disebut sebagai “bencana alam” semata. Ia adalah refleksi dari kegagalan sistemik. Dari perspektif sosiologi, terdapat tiga lapisan masalah utama:

1. Budaya Keselamatan yang Lemah

Masyarakat, operator kapal, bahkan sebagian pejabat terlalu terbiasa dengan risiko. Pelampung robek dianggap wajar. Kapal penuh dibiarkan saja. Keselamatan belum menjadi nilai bersama.

2. Struktur Regulasi yang Berantakan

Ada lebih dari lima lembaga berbeda yang mengatur laut Indonesia: Kementerian Perhubungan, Basarnas, KKP, Dishub Provinsi, dan lainnya. Tapi tak satu pun yang benar-benar bertanggung jawab secara tunggal dan tegas.

3. Ketimpangan Transportasi

Bagi warga pesisir, tidak ada pilihan transportasi lain. Mereka naik kapal kecil, murah, dan berisiko tinggi. Sementara kapal yang lebih aman tidak menjangkau wilayah mereka.

Data Berbicara: Laut Kita Tak Aman

1.127 jiwa tewas dalam kecelakaan laut sejak 2016 (Basarnas, 2024)

Rata-rata 14 kecelakaan laut per bulan di wilayah Indonesia Timur

Kerugian ekonomi mencapai USD 2,6 miliar per tahun akibat gangguan logistik laut (World Bank, 2023)

72% kapal penumpang berusia lebih dari 20 tahun (Kemenhub, 2025)

Apa yang Harus Dilakukan Negara?

Tragedi KMP Tunu bukan yang pertama — dan jika dibiarkan, pasti bukan yang terakhir. Pemerintah perlu melakukan perombakan sistemik. Berikut beberapa langkah mendesak:

Bentuk Komando Keselamatan Laut Tunggal
Hapus tumpang tindih wewenang dan tetapkan satu institusi yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan transportasi laut.

Terapkan Literasi Keselamatan Wajib untuk Penumpang dan Awak
Sebagaimana instruksi penggunaan masker saat pandemi, edukasi pelampung dan titik evakuasi harus jadi standar di setiap pelayaran.

Buka Data Kecelakaan Secara Transparan
Seluruh kasus kecelakaan harus dipublikasikan secara terbuka dan diikuti proses hukum yang jelas. Jangan ada kasus yang “hilang” begitu saja.

Investasi pada Teknologi Peringatan Dini dan Pemantauan Real-Time
Gunakan teknologi GPS dan radar laut untuk memantau kondisi kapal dan cuaca secara langsung.

Penutup: Jangan Biarkan Laut Jadi Kuburan

“Bangsa yang tidak belajar dari tragedi, akan hidup dalam tragedi.”
– Dr. Saputra Hidayat, Sosiolog Bencana


KMP Tunu Pratama Jaya bukan sekadar kapal yang karam. Ia adalah simbol dari sistem yang gagal menjaga warganya. Bila kita hanya menganggap ini sebagai “nasib buruk”, maka tragedi berikutnya hanya tinggal menunggu waktu.

Laut adalah penghubung kehidupan. Bukan kuburan massal.
Saatnya Indonesia benar-benar belajar — sebelum lebih banyak nyawa melayang.

Tentang Penulis – Jany Asha

Jany Asha adalah lulusan Sosiologi dari FISIP UI yang sempat meniti karier sebagai penyelenggara acara profesional. Bertahun-tahun ia mengorkestrasi berbagai event, dari seminar hingga konser, sebelum akhirnya memutuskan rehat dari dunia yang penuh hiruk-pikuk itu.

Kini, Jany kembali mengasah kepekaan sosiologisnya melalui tulisan. Ia aktif mengamati fenomena sosial di sekitar—mulai dari tragedi transportasi hingga gaya hidup urban—dan menyajikannya dalam sudut pandang tajam yang mengajak pembaca berpikir.

Selain menulis opini di berbagai platform, Jany juga mengelola blog pribadi bernama “DAPUR Penyelenggara”, yang membahas seluk-beluk dunia event dengan gaya yang renyah dan informatif. Walau tak lagi mencari klien, Jany tetap aktif berbagi ilmu dan pengalaman agar bisa menjangkau lebih banyak pembaca yang haus perspektif segar.

Saat ini, Jany tengah mendukung kampanye teman-temannya yang mengusung keselamatan sebagai gaya hidup, baik di ruang publik maupun dalam keseharian. Maka, jangan heran bila tulisannya kini kerap menyinggung isu keselamatan, termasuk tragedi seperti tenggelamnya feri KMP Tunu Pratama Jaya.

Jany percaya bahwa menulis bukan hanya soal menyuarakan keresahan—tetapi tentang membangun kesadaran.

Berita Ini Di Sponsorin Oleh :
Scroll Ke Bawah Untuk Lihat Konten